Rabu, 11 Februari 2015

KOPI

KOPI
Sajak By: Mahmudi el-Nur MH
Sepahit-pahit hidup
Hanya sebatas pahit kopi
Hidup tanpa kerja
Laksana kopi tanpa gula.
Tahu rasanya?
Hem... nikmatilah!
Itulah sisa hidupmu.
Jogja, 2013



SYAIR TOLAK-ANGIN

SYAIR TOLAK ANGIN
Sajak By: Mahmudi el-Nur MH
Ku kirimkan syair bersama hembusan angin malam
Menerbangkan bintik-bintik hujan
Semakin membasahi kegelapan
Gelap berlapis pekat semakin mencekam
Angin berhembus badai menyambar kegelapan
Syair-syair penyair mengalir laksana sungai
Mengklupas dingin dan menyapu angin
Tiba-tiba datang untaian
Kehangatan kata-kata
Menggertak badai menyambar gelombang
Derita pun mulai reda.
Ah lega...
Jogja, 2013


VIRUS BID'AH

VIRUS BID’AH
Sajak: Mahmudi el-Nur MH
Gerombolan jubah putih-putih
Berikatkan serban di kepala
Jenggot lebat nan panjang
Tampak subur terurus
Dua tanda hitam di jidatnya
Lisan berkomat-kamit jarinya memutar tasbih
Berjalan menyusuri kampung-kampung.
Hadits hafalannya tiga bulan kemarin
Disebut-sebut dalam setiap pengajiannya
Mengklaim bid’ah di sana-sini
Haram ini haram itu
Karena tak pernah dilakukan Nabi, katanya.
Nerakalah balasan akhirnya,
Begitulah kira-kira tuturnya.
Padahal, tanpa sadar mereka sendiri
Nenek moyangnya bid’ah
Sebab, Nabi tak pernah ceramah dengan bahasa mereka
Apalagi dengan keras kepala mereka.
Ah... wallahu a’lam
Allah lah yang tahu segalanya.

Jogja, 2013 

Kumpulan Puisi Sosial Sajak-sajak Nanang Suryadi

Kumpulan Puisi (Sajak) Negeri Yang Menangis


NeGErI YaNG MeNAngIs

ALDORA MELUKIS KOTA (1)

aldora melukis kota, jemarinya memulas cat hitam dan merah pada kanvas yang lusuh, ada kegusaran yang memusar, pada wajah 

"mengapa rusuh juga yang membakar kota-kota?"

kau mau minum kopi aldora? atau sebatang rokok
mungkin bisa hilangkan pening dalam kepala
aldora melukis kota, juga manusia tak jelas wajahnya merah hitam dipulasnya, dicampur baur, mungkin sebentuk luka
tanganmu kotor, aldora
jemari halus dan kuku putih tak berupa
:mengapa luka?

"mengapa bukan cinta!"

ALDORA MELUKIS KOTA (2)

aldora melukis kota. dengan jemarinya ia guratkan kota yang telah berubah. wajah-wajah manusia yang muram.
"berapa banyak rumah yang harus ditumbangkan, dora? berapa sawah berubah menjelma rumah mewah?"
kau tak menjawabnya dengan kata-kata. karena apa? (takutkah engkau untuk mengatakannya dengan mulutmu?)
aldora melukis kota. warna-warna memar tumpah ruah di kanvas. meledak juga tangisnya di lukisan kota yang terbakar!
cilegon, 1997

PEREMPUAN YANG MENJERIT

perempuan yang menjerit. adalah ibu melihat kanak yang marah membakar gedung  juga rumah ibadah. dengan kepedihan yang terpendam. sekian lama. siapa menyulut siapa. kerusuhan meledak di mana-mana. ( mobil-mobil terjungkal penuh asap dan api, perempuan diperkosa hingga mati, kepala manusia diarak di jalan-jalan, darah berceceran ---hugh perutku mual! sungguh!)
"cinta! mengapa berlari?" aku bertanya
"adam, nuh, ibrahim menangiskah engkau?" ibu ganti bertanya
"cinta! mengapa berlari?"
ibu menatapku, tapi tatapnya adalah gelombang menghantam hatiku:
"kanak-kanakku, kalian semua bersaudara. kalian semua bersaudara. mengapa terus kau sulut kebencian di mana-mana?"


NEGERI TEROR

kau merasa dinding mendengarkan pembicaraan
mata-mata membayangi setiap gerak-gerik

sepertinya, telinga penguasa ada di mana-mana
menguping obrolan-obrolan kebosanan

ketakutan yang mencekam
ketika pistol teracung menempel di jidatmu

makian yang mana hendak dimuntahkan
kepada siksaan penuh teror

memasuki mimpi-mimpimu

Malang, 1998



SENDANG DRAJAT

bunga yang ditabur bawah pohonan
batu berserak, imaji kepurbaan
kolam kecil, janji kejayaan

sipa menyepi di tengah bumi
di dalam goa

alir air kecil sekali
hanya gemercik
menimpa batu kali

"nenek moyang, nenek moyang", ada suara memanggil

aku lihat tarian kekhusukan
melawan ketakutan pada kekuatan tak terpahami

kesunyian ini begitu angker
hutan jati mengepung
batuan terjal angkuh menjulang
akar pohonan tersembul di permukaan
bau kembang bertebaran
sisa asap dupa

"apa yang diingini manusia, harta atau bahagia?"

6 September 1998


NEGERI YANG MENANGIS

beribu kata terlontar dari bibir gemetar: senja yang kaugugurkan dari tatapan perlahan tumbuh menjadi nyala. anak-anak berpaling dari masa lalu.

betapa sunyi. betapa sunyi. menyusuri nasib negeri sendiri. ada yang teramat sedih menderaskan airmata. ada yang teramat marah memuntahkan api.

"kuasa! kuasa!"

dan aku menggigil
menulis: indonesia!

Madiun, September 1998

NYANYIAN BUAT KANAK

Sungguh, di masa sulit ini
Aku ingat wajahmu,
Sebagai pengobat kegetiran

Binar mata, tawa mengekeh
Atau tangis pada dini hari
Luruhkan kesumpegan

Dari tangan-tangan yang mencoreti dinding rumah
Aku temukan lukisan terindah lahir dari kemurnian

Aku menimba kesejukan
Pada tatapan

Lebur darah keringatku
Di dalam dirimu

Madiun, 2 September 1998


Senja Pilu

Cerpen: Ayu Suciartini

Desa ini aneh. Begitu senyap. Meski aku tahu letaknya tidak jauh dari kota. Pagi, senja, hingga langit pekat tak membuat desa ini riuh. Lampu telah menontonkan cahayanya, namun tetap saja bagai lampu sentir yang remang nyalanya di ufuk malam. Hanya temaram dengan suara jengkerik yang mulai berbisik. Hal ini mengusikku. Gelisahku mulai bergumam. Mungkinkah telah terjadi sesuatu? Hingga lima jam aku menunggu. Pun tanyaku tak bersambut. Resah telah mencekam desa kelahiranku.

Angin yang menyentuh seperti kaku. Angin yang tak biasa juga membuat jendela rumah penduduk tertutup rapat. Tak memberiku celah untuk mengintip. Langkah ini tetap menuntun di kegelapan. Hingga aku sampai pada satu rumah di sudut gang. Tak banyak berubah. Berandanya masih penuh meja-meja kayu jati, tempatku bersama lima kawan kecilku mengerjakan hitungan matematika, fisika, serta sesekali mendengar epos Mahabarata. Hanya saja, meja kecil ini sudah lapuk, rongga-rongga yang tampak membesar kian hari, lengkap dengan serpihan kayu yang jatuh terurai oleh hewan tetani. Kupandangi kesunyian ini. Menguak memori masa silam hidupku. Tawa liar bocah kecil seperti menggema. Redup lagi, ada tangis yang bersahutan, sesekali nafas semangat berembus menyapaku.

Langkah kaki yang melintas di depanku mengusir hayalku. Coba mendekat, memaknai gesture lelaki berpeci itu. Sepertinya ia baru saja melakukan perjalanan jauh.

"Maaf Pak, Tyang (saya) mau tanya mengapa desa Nagasari ini bagitu sepi Pak?

Tanyaku berlalu. Bapak paruh baya itu bungkam. Sepertinya diam menjadi pilihan yang tepat untuk menyelamatkan desa ini. Meratapi tubuh dingin Bapak tua itu, nampaknya aku hafal bagaimana cara orang itu berjalan. Namun sayang, aku tak diberi waktu banyak untuk mengingatnya.

Sepi ini sebentar lagi akan membunuhku. Aku berharap akan kecewa. Tapi tidak, rasa ini semakin kuat, terperajat untuk menemukan serpihan kenanganku bersama desa ini. ‘Nagasari, 11 April 1986’, kutemukan batu paras bertuliskan tanggal memesona. Ya…aku ingat, jemari lunglai Gde Botol, salah satu kawanku mengukir itu.

'Ingat selalu ya, nanti kita ketemu lagi di sini.'

Suaranya hidup lagi bersama kesedihan yang telah coba kukubur. Sedikit berdebu, aku mengibas beberapa pasir yang menutup batu paras itu. Bagaimana seorang anak usia sembilan tahun menyembunyikan kesedihannya? Coba beritahu aku. Gde Botol, kawan sepermainanku harus menghilang karena hukum kesepekang (dikucilkan). ‘manak salah’,(kembar buncing) saat itu berubah jadi hukum rimba bagi keluarga Gde Botol. Aku belum cukup mengerti, namun aku tahu seseorang menangis artinya mereka tengah bersedih. Anak sekecil itu dihujat, diarak keliling desa karena Ibunya beranak kembar buncing. Bayi mungil dengan jenis kelamin yang berlainan dianggap membawa leteh (kotoran) yang harus segera dibersihkan.

Deru bertalu memecah dada. Persahabatan kami dimutilasi. Seperti nyanyian balonku ada lima, kini satu balon harus kami lepas. Aku tak mengerti hukum ‘manak salah’ itu. Sejak itu, senja di desa ini seolah bisu. Mahluk dewasa yang lebih mengerti tetap bungkam. Mereka sibuk mengadakan upacara mebersih, membuang malapetaka. Rerumputan berembun tangis. Hukum tidak boleh dibicarakan. Mereka percaya, siapa yang membahas hukum ini, kutukan akan datang pada keturunan mereka. Suram yang makin kelabu. Di pengasingan itu, Gde Botol tidak bisa bermain lagi. Aku ingat perut buncitnya yang selalu lapar ketika menghirup aroma makanan. Kini, Gde Botol tinggal di pengasingan dengan makanan seadanya. Ia akan ditangkap apabila keluar. Aku tak mampu lagi membayangkan kesedihan di balik tembok-tembok yang terus membisu. Kembar buncing itu, bagaimana nasibnya? Belum lagi keluarga Gde harus membayar denda yang jumlahnya tak sedikit. Kemelaratan ini melibas keluarga tak berdaya. Setelah hukum kesepekang itu, tak kudengar lagi kabar Gde Botol juga kembar buncing.

Desir angin yang berbisik di celah bambu memutar kembali memoriku. Aku kembali ke desa ini untuk sebuah tujuan. Menyergap diam yang terpendam. Di rumah ini, aku akan menemukan jawaban; bukan pilu, itu harapku. Kuperhatikan lagi detail bangunan tua ini. Seolah tumbuh, seperti umurku yang menahun kian usang. Ada rumbai menggelayut di depan pintu. Memberiku aba-aba, mempersilakan masuk tanpa harus menunggu jawaban sang pemilik rumah.

Terus melangkah pada malam yang retak; sambil sesekali menoleh. Mungkin aku menemukan orang di dalam rumah tua ini. Aku telah hafal betul lika-liku rumah ini; rumah singgah adalah rumahku selama 10 tahun. Kakiku membentur sesuatu. Ya…sebuah kursi panjang di depan kamar Ibu Mutia, tempat aku dan 5 kawan kecilku mengintip lelaki yang sering mampir, membawa banyak makanan untuk kami.

"Hey, bocah pingitan, hentikan tingkah tidak sopan kalian. Kecil-kecil suka ngintip, kudoakan mata kalian bisulan."

Tiada henti Bu Mutia mengatai kami, hujan amarah akan terlontar jika kami masih berniat memuaskan rasa ingin tahu kami.

Bu Mutia, salah satu pengasuh kami. Kala itu, umurnya 26 tahun, masih cantik dan segar. Meski pemarah, perihnya tak mendarah daging. Dalam celah hatinya, aku tahu ia ingin menjadi Ibu yang baik untuk kami. Buih kekerasan merona pekat di hidup Bu Mutia. Perkawinannya kandas lantaran tidak mampu memberi keturunan. Luka itu tak dibiarkannya terkulai lagi. Phobia yang berhasil ia lalui, membuatnya seperti ini. Kering rasa.

Tubuh Bu Mutia sangat anggun. Lekuknya tertata dengan indah, seolah belum terjamah. Ia adalah penari joged primadona di desa Nagasari ini. Meski bukan warga asli; Bu Mutia seolah tercipta begitu lentur untuk menari. Itulah cerita lelaki yang selalu datang ke rumah singgah kami dan merayu Bu Mutia. Lelaki tak bernama itu sering kulihat meratapi senja di celah jendela kamar Bu Mutia. Seolah mengusir sepinya. Aku tak paham hubungan Bu Mutia dengan lelaki itu. Lelaki itu termenung, menatap lekat air mata Bu Mutia, saat kami mengintip mereka yang tengah berdua. Mereka berpeluk, seperti menyepakati sesuatu. Lalu meninggalkan Bu Mutia yang tengah mengusap air matanya. Lalu lelaki itu menghampiri kami.

"Tak bisakah kalian berhenti mengintip, kalian sebenarnya tengah mencuri jika melakukan ini."

Kata-kata itu membuat kami berlalu. Namun, Luh Gina, kawanku satu-satunya perempuan, menghentikan laju lelaki tak bernama itu.

"Tuan, apakah kau suami Bu Mutia?" "Anak manis, aku hanya lelaki singgah, sama seperti rumah singgah ini di hidup Bu Mutia. Tapi aku tahu banyak tentang hidup Ibu asuh kalian itu." "Aku tidak mengerti tuan, ceritakanlah apa yang tuan tahu. Kami menyayangi Bu Mutia, kami juga ingin menghapus air matanya, sama seperti yang tuan lakukan. Tapi kami tak mampu."

Lelaki nan gagah itu mirip sosok seorang Ayah yang kudamba. Ia memeluk kami sambil memberi camilan kecil. Lalu duduk di kursi panjang tempat kami mengintip. Aku menatapnya erat. Garis halus di keningnya ingin ku sentuh dan memeluknya balik. Suasana ini yang sering aku impikan. Bersenda gurau bersama sosok yang disebut Ayah. Pun aku melihat mata sayu kawanku memandangi lelaki tak bernama ini bertutur. Mungkin rasaku sama dengan 5 Kawan kecilku itu. Kami menginginkan sebuah keluarga, lengkap dengan manusia yang bernama Ayah, Ibu, juga anak-anak.

Lewat desahan nafas, lelaki itu menggulirkan kalimat yang penting, "Bu Mutia telah kehilangan rahimnya sejak jadi penari joged."

Kalimat itu membuat kami mematung; mendengarkan dengan saksama. Lena disihir pujian, Bu Mutia bukan hanya menggunakan tubuhnya untuk menari. Ia menjalang lewat tarian. Masa lalunya yang kelam. Senyumpun rasanya pahit. Berlebih ketika Bu Mutia memutuskan untuk mengangkat rahimnya, agar tidak beranak pinak. Dan ia bebas mengundang lelaki belang menelanjangi tubuhnya. Karma itu telah tumbuh, kini tangis Bu Mutia mengeram, merindukan memangkul buah hati. Karma itu membedah kembali lukanya.

Lidahku kelu. Aku tak mengerti secara utuh. Namun, Lelaki itu bersedia mengeja kata yang lebih sederhana untuk kami pahami. Bu Mutia menelanjangi jiwanya, merelakan luka itu kembali dibedah hanya untuk menutupi kebutuhan kami. Pria dengan dasi warna-warni, menghampiri malam-malam Bu Mutia itu, ternyata membayar makanan, pakaian, serta keperluan kami.

Risauku berlagu. Apa aku begitu jahat pada Bu Mutia? Memenuhi seluruh otakku dengan pikiran-pikiran busuk terhadap sang dewi? Aku, dan 5 kawanku bukan anak kandung Bu Mutia, bukan pula siapa-siapa. Lalu, mengapa ia begitu baik? Dan mengapa ia memilih untuk tinggal bersama bocah yang tak karuan asala usulnya seperti aku dan 5 kawanku yang lainnya. Memandangi hujan di beranda rumah singgah ini, kami berbincang tentang mimpi dan Bu Mutia.

Setiap liku rumah ini penuh kenangan. Tak kusudahi membasuh diri dengan kenangan itu. Kenangan yang membuatku menemukan warna. Kepedihan ini terasa beranak pinak. Senandung Ibu yang kurindu sejak kecil tak bertandang. Dekapan Ibu yang menurut cerita orang, sangat hangat tak pernah membelaiku. Jiwaku penuh sumpah serapah. Hina dalam didih yang perih. Beginilah nasib anak-anak di pesinggahan. Di luar, mereka mencaci kami sebagai anak hina;hasil hubungan gelap, sehingga kami tidak bertuan. Ucapan itu ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Aku mempunyai Ibu, Bu Mutia. Pun Tuan tak bernama aku sebut Ayah.

Di antara kami, Gde Botol paling beruntung. Ia punya keluarga dan cinta. Menggores kanvas indah di hidupnya dengan cerita indah sebuah keluarga. Namun, kepedihan kembali berlagu untuk kami. Bagaimana kawanku itu harus menyerah pada hukum alam. Bu Mutia saat itu kehilangan satu anaknya. Ia selalu menyembunyikannya dihadapan kami dengan pura-pura marah. Lalu memeluk kami. Seraya berucap.

"Nak, hanya kalian mampu mengubah hidup kalian. Ibu tidak ingin nasib kalian seperti Gde Botol atau Ibu."

Sayup kata terakhir itu terus berdendang bersama mimpiku.

Memendam luka teramat perih membuatku takut bermimpi. Namun luka itu pula menjelma jadi hasrat. Hasrat untuk melawan getir kepedihan. Air mata adalah kebodohan. Ketika kini, aku kembali membawa mimpi itu untuk Ibunda Mutia dan 4 kawanku yang tersisa. Bu Mutia berharap padaku untuk melakukan perubahan. Aku disekolahkannya setinggi mungkin. Kini aku pulang dengan gelar sarjanaku. Kadek Ayu Kartika Priyatna, S.Pd, aku telah jadi guru di sebuah sekolah ternama. Mengajar adalah hidupku, seperti Bu Mutia. Ternyata indah, membuat mahluk lain memahami arti sebuah hidup.

Aku kembali mengurai ar mata. Rahasia kesedihan kembali bergema. Aku terlambat. Bu Mutia, kawanku, rumah singgah, dan kenangan itu telah terkubur. Rumah ini telah disita. Pun penghuninya tidak terjamah lagi. Entah kemana. Serpihan itu luluh lantah…tetap bisu, seperti desa yang telah mati ini. Desa dengan senja pilu..

Hidang Maulid, Yang Hilang Kala Perang

Bulan Rabiul Awal selalu istimewa bagi masyarakat Aceh. Sepanjang bulan ini, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW digelar. Warga antarkampung saling kunjung. Di meunasah dan masjid mereka berkumpul, berpesta, dan bersilaturahmi dalam acara hidang maulid. Kebersamaan yang meriah. Sebuah kebersamaan di bulan istimewa yang sempat menghilang di kala perang.

Pagi di akhir pekan ini, Jafar (40), tampak sibuk meracik bumbu di sebuah tenda sederhana di sebelah masjid. " Kalau dagingnya sudah empuk, baru bumbu ini dimasukkan," kata dia.

Jafar bersama 14 warga sekitar masjid Baitussolihin, Desa Ulee Kareng, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, memasak kari sapi. Kari inilah yang akan jadi menu utama kenduri bersama warga se-Kecamatan Ulee Kareng dalam acara Hidang Maulid di halaman masjid Baitussolihin hari itu.

Tiga ekor sapi dewasa sudah selesai dipotong-potong menjadi serpihan kecil daging. Delapan wajan besar pun disiapkan. Sebanyak 15 juru masak, yang semuanya pria dengan terampil memasukkan bumbu ke dalam rebusan daging di wajan. "Sudah jadi tradisi, dalam acara hidang maulid yang memasak bapak-bapak. Biar nanti ibu-ibu yang menikmatinya," ujar Jafar sambil tertawa.

Tak jauh dari tenda memasak itu, persisnya di halaman masjid, ratusan orang dari berbagai desa dan instansi, sibuk menyiapkan hidang, wadah-wadah nasi yang dihias aneka warna. Sembari menunggu juru masak selesai memasak kari, ratusan orang itu lalu berpawai keliling kampung. Suara rebana, rapai, dan serunai kalee (alat musik tiup khas Aceh) yang dimainkan pemuda dan pemudi, meningkahi pawai maulid itu.

Di antara peserta pawai tampak sejumlah anggota TNI dan kepolisian. Mereka tak sedang mengamankan, tapi juga turut sebagai peserta pawai. Tak lupa, mereka pun membawa idang nasi yang sudah dihias.

Usai pawai, mereka kembali ke halaman masjid. Setelah jeda salat Dhuhur, ribuan orang dari berbagai kampung berdatangan. Mereka membawa berbakul-bakul nasi yang dibungkus daun maupun kertas. " Ini untuk hidang bersama," ujar Aminah (35), warga Ulee Kareng.

Setelah itu, ribuan warga dari berbagai desa itu pun bersilaturahim. Mereka saling bersalaman sambil menyanyikan tembang salawat nabi. Hingga akhirnya, acara santap bersama pun dimulai dan menjadi penutup acara tersebut.

"Ini untuk merayakan maulid nabi. Tapi lebih dari itu juga di acara ini menjadi tempat silaturahim dan menjalin kebersamaan warga di kecamatan ini sehingga makin bersatu," kata Jamal Yunus, ketua panitia Hidang Maulid.

Hidang Maulid sudah menjadi tradisi lama masyarakat Aceh. Sejak Islam masuk ke wilayah ini, tradisi ini muncul. Di hampir semua kabupaten dan kota di Aceh, kegiatan ini ada, terutama di desa-desa.

Bagi masyarakat Aceh, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tak hanya tepat tanggal 12 Rabiul Awal. Namun, sebulan penuh warga dapat menggelar hidang maulid. Terkadang, tiga bulan sesesuah 12 Rabiul Awal pun masih ada kampung yang menggelar. Hal ini karena tiap kampun atau desa menggelar bergiliran.

"Tiap kampung menggelar ini. Biasanya, kami selalu mengundang warga kampung lain untuk datang menikmati hida ngan yang disediakan tiap warga kami. Kami berkumpul di meunasah. Setelah tahlil, lalu menikmati kesenian tradisional, terus makan bersama. Ratusan sampai ribuan orang berkumpul. Ini seperti hari raya bagi kami," ujar Hamzah (40), warga Ulee Kareng.

Namun, sesungguhnya, kebersamaan yang meriah dalam perayaan maulid ini baru kembali terasa 4-5 tahun terakhir, khususnya setelah tsunami. Sepanjang tahun 1980-awal 2000, kemeriahan maulid nyaris tenggelam ditelan ketakutan warga yang tercekam konflik antara TNI/Polri melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

"Jangankan merayakan maulid, mau ke pasar aja kami takut. Apalagi kumpul-kumpul orang segini banyak," tutur Hendra Saputra (30), warga Kecamatan Idie Rayeuk, Aceh Timur.

Masa status daerah operasi militer (DOM) dan darurat militer adalah masa yang paling traumatis bagi warga Aceh saat ini, terutama di desa-desa.

"Kala itu, nyaris tak mungkin menggelar perayaan besar. Sebagian besar pemuda desa memilih merantau. Di kampung-kampung tinggal perempuan dan pria-pria lanjut usia. Kami waktu itu takut dituduh macam-macam," kata Hendra.

Namun, perihnya bencana tsunami menjadi berkah. Sejak saat itu, konflik mereda. Setelah perjanjian Helsinki dan lahirnya Aceh yang otonom, masa damai pun teretas. Sesuatu yang sangat disyukuri warga Aceh. Ini sekaligus pelajaran bagi keindonesiaan kita; saban ekspresi ketidakpuasan daerah tidaklah harus dihadapi dengan bedil.

"Kini, kami semua damai. TNI/Polri dan masyarakat bisa kumpul bersama di hidang maulid. Sesuatu yang dulu tak mungkin terjadi," tandas Hendra.

Maulid dan Jihad Reformasi

Maulid dan Jihad Reformasi
Oleh: Ali Mahmudi Ch *)

Lantunan pujian shalawat mengalun merdu disetiap sudut-sudut perkampungan. Malam-malam Rabi’ul awal terlantun syair puji-pujian. Dunia bagaikan lautan shalawat bergelombang menggemuruh seluruh penjuru. Semarak shalawat menggema dimana-mana meramaikan persada. Rerumputan bergoyang-goyang diterpa angin shalawat atas Muhammad yang agung nan mulia. Seluruh makhluk dijagat raya menyaksikan ruh Muhammad diantara kerumunan orang-orang shaleh.
Inilah tradisi yang tiada henti. Turun-temurun dari masa ke masa selanjutnya. Mengintip sejarah, bahwa maulid pertama diperingati pada masa Sultan Salahuddin Yusuf al Ayyubi (1174-1193M). Ia berasal dari suku Kurdi dengan pusat kesultanannya berada di Qahirah, Mesir. Daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arab. Pada masa itu, Islam sedang mengalami serangan bertubi-tubi dari bangsa Eropa. Perang ini kemudian dikenal dengan Perang Salib (The Crusade).
Tahun 1099, Eropa merebut Yerusalem. Kemudian mereka mengubah Masjid Al-Aqsha menjadi gereja. Saat itu umat sedang kritis semangat perjuangan dan persaudaraan. Sebab, secara politis mereka terbelah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meski semestinya khalifah tetap dipegang oleh Bani Abbas di Bagdad. Berawal dari situasi inilah yang kemudian melahirkan jihad reformasi di tubuh Salahuddin al-Ayyubi.
Salahuddin al-Ayyubi berupaya mempertebal semangat kecintaan umat kepada Nabi Muhammad. Dia mengimbau bagi umat Islam di seluruh dunia agar memperingati hari lahir Nabi Muhammad. Ini bertujuan untuk meningkatkan semangat juang kaum reformis muslim. Peringatan maulid diperintahkan guna mengimbangi maraknya peringatan Natal umat Nasrani.
Awalnya, ide ini banyak ditentang oleh para ulama. Sebab, sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Tetapi disini Salahuddin menegaskan, bahwa perayaan maulid nabi merupakan kegiatan guna menyemarakkan syiar agama. Ini berarti bahwa maulid bukan merupakan perayaan bersifat ritual ibadah. Sehingga kegiatan ini tidak dapat dikategorikan sebagai bid’ah.
Salah satu kegiatan maulid nabi pertama kali, ialah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian baginya dengan bahasa seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang juara pertama diraih oleh Syaikh Ja’far Al-Barzanji. Karyanya sangat terkenal, yakni Kitab Barzanji. Al-Barzanji ini marak dibaca pada peringatan maulid nabi ataupun setiap malam jum’at. Tradisi ini dalam istilah Jawa dikenal dengan nama Berjanjenan.
Spirit Reformasi
Pasca runtuhnya Orde Baru, angin reformasi berhembus sangat kencang. Namun sayang, reformasi birokrasi tetap jalan ditempat. Dalam era reformasi ini, kondisi manajemen birokrasi semakin terpuruk. Ini ditandai dengan adanya penyerahan kewenangan manajemen kepegawaian kepada pembina kepegawaian daerah. Sementara pembina kepegawaian daerah merupakan orang-orang pejabat politik yang menghendaki dukungan politik.
Maka tak dapat dielakkan lagi kalau terjadi kultur mutasi dan promosi jabatan secara missal. Uniknya, bahkan hampir menjurus pada bagian daerah otonom. Baik di tingkat pemerintah daerah, provinsi, hingga kabupaten. Mutasi jabatan birokrasi dilakukan oleh pejabat politik yang hendak mengatur birokrasi. Ini bertujuan untuk memuluskan langkah guna mencapai jabatan kedua atau klien penggantinya.
Pada masa Orba, penentuan karier pejabat birokrasi diatur secara kelembagaan dari pusat. Faktanya, sebagai penganut party state bureaucratic, penentuan jabatan birokrasi masih harus di bawah organisasi partai. Disinilah birokrasi menjadi unsur penting dalam organisasi partai. Organisasi partai bisa mengalihfungsikan birokrasi menjadi ajang promosi partai dan jabatan. Sebab, pejabat birokrasi dikuasai oleh partai politik tertentu.
Untuk itu, kita perlu mendongakkan kepala untuk melihat sejarah. Disinilah pentingnya peringatan maulid bagi pemerintahan birokrasi. Spirit reformasi telah tumbuh di jantung peradaban maulid Nabi. Seperti telah digagas Shalahuddin al-Ayyubi, bahwa maulid dimaksudkan untuk menggugah semangat jihad reformasi pada saat itu. Meskipun maulid terkesan kultur keagamaan, namun ruhnya jauh memiliki makna yang luas.
Maka, sudah saatnya Indonesia mereformasi birokrasi secara total. Artinya, reformasi birokrasi tidak hanya dalam ranah parsial per departemen atau unit kerja saja. Namun harus direformasi secara total. Berdasarkan hasil survei dari The Political and Economics Risk Consultancy (PERC), 9 April 2009, bahwa Indonesia merupakan Negara dengan pelayanan publik terburuk setelah india. Selain menyandang prestasi itu, Indonesia juga mendapat skor predikat Negara terkorup se-Asia.
Secara umum, demokrasi yang diraih rakyat Indonesia pascareformasi memang sedikit menggembirakan. Ini terbukti dengan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan pers, serta berbagai upaya transparansi tata kelola pemerintahan. Kondisi ini akan semakin baik apabila ditunjang dengan reformasi birokrasi. Tentunya upaya ini harus dilaksanakan secara professional dan proporsional.
Penyimpangan-penyimpangan yang kerap dilakukan oleh pejabat birokrasi kemungkinan bisa diminimalisir dengan adanya pembatasan dan kriteria rekrutmen yang jelas. Sekaligus disertai dengan menempatkan birokrasi dalam jabatan karier pemerintahan. Dengan ini diharapkan pejabat eksekutif maupun legislatif jauh dari jangkauan kinerja birokrasi. Maka, pejabat birokrasi tidak akan merasa tertekan bila berhadapan dengan pemimpinnya yang berasal dari jalur politik.
Sebab, selain terprioritaskan pada aspek profesionalitas, juga terdapat Undang-undang yang melindungi pejabat birokrasi dalam menjalankan kariernya. Akhir-akhir ini, pengawasan terhadap manajemen birokrasi semakin kabur. Untuk itu, dalam rangka mengikis budaya paternalistik, harus segera mungkin memprioritaskan profesionalisme dengan pendekatan meritokrasi birokrasi.
Pendekatan ini dalam rangka memaksimalkan fungsi dasar lembaga birokrasi. Profesionalisme dan meryt system tidak akan tercapai apabila semangat netralitas birokrasi tidak segera ditekankan dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, tanpa netralitas birokrasi terhadap politik, maka akan sulit mencapai profesionalitas birokrasi sesuai tujuan bangsa yang demokratis.

*Penulis: Peneliti pada Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).